Majlis Ta'lim Al Inat

Sabtu, 05 Februari 2011

Manaqib Habib Abu Bakar bin Abdurrahman As-Seggaf

Alkisah tentang seorang Imam al-Qutb yang tunggal dan merupakan qiblat para auliya' di zamannya, sebagai perantara tali temali bagi para pembesar yang disucikan Allah jiwanya, bagai tiang yang berdiri kokoh dan laksana batu karang yang tegar diterpa samudera, seorang yang telah terkumpul dalam dirinya antara ainul yaqin dan haqqul yaqin, beliau adalah al-Habib al-Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Imam (Wadi-al-Ahqaf) al-Habib Umar bin Segaf as-Saggaf.

    Nasab yang mulia ini terus bersambung dari para pembesar ke kelompok pembesar lainnya, bagai untaian rantai emas hingga sampailah kepada tuan para pendahulu dan yang terakhir, kekasih yang agung junjungan Nabi Muhammad
صلى الله عليه وسلم.

    Habib Abu Bakar dilahirkan di kota Besuki, sebuah, kota kecil di kabupaten Sitibondo Jawa Timur, pada tanggal 16 Dzulhijjah 1285H. Dalam pertumbuhan hidupnya yang masih kanak-kanak, ayahanda beliau tercinta telah wafat dan meninggalkannya di kota Gresik. Sedang disaat-saat itu beliau masih membutuhkan dan haus akan kasih sayang seorang ayah. Namun demikian beliau pun tumbuh dewasa di pangkuan inayah ilahi didalam lingkungan keluarga yang bertaqwa yang telah menempanya dengan pendidikan yang sempurna, hingga nampaklah dalam diri beliau pertanda kebaikan dan kewalian.

    Konon diceritakan bahwa beliau mampu mengingat segala kejadian yang dialaminya ketika dalam usia tiga tahun dengan secara detail. Hal ini tidak lain sebagai isyarat akan kekuatan ruhaniahnya yang telah siap untuk menampung luapan anugerah dan futuh dari rabbnya Yang Maha Mulia.

    Pada tahun 1293H, segeralah beliau bersiap untuk melakukan perjalanan jauh menuju kota asal para leluhurnya, iaitu Hadramaut. Kota yang bersinar dengan cahaya para auliya'. Perjalanan pertama ini adalah atas titah dari nenek beliau (ibu dari ayahnya) seorang wanita shalihah Fatimah binti Abdullah Allan. Dengan ditemani seorang yang mulia, asy-Syaikh Muhammad Bazmul, beliau pun berangkat meninggalkan kota kelahiran dan keluarga tercintanya. Setelah menempuh jarak yang begitu jauh dan kepayahan yang tidak terbayangkan maka sampailah beliau di kota Seiwuun sedang pamannya tercinta al-Allamah al-Habib Abdullah bin Umar beserta kerabat yang lain telah menyambut kedatangannya di luar kota tersebut   
Tempat tujuan pertamanya adalah kediaman seorang allamah yang terpandang di masanya, al-‘Arifbillah al-Habib Syaikh bin Umar bin Saggaf". Sesampainya di sana Habib Syaikh langsung menyambut seraya memeluk dan menciuminya, tanpa terasa airmata pun bercucuran dari kedua matanya, sebagai ungkapan bahagia atas kedatangan dan atas apa yang dilihatnya dari tanda-tanda wilayah di wajah beliau yang bersinar itu. Demikianlah seorang penyair berkata, hati para auliya' memiliki mata yang dapat memandang apa saja yang tak dapat dipandang oleh manusia lainnya. Dengan penuh kasih sayang, Habib Syaikh mencurahkan segala perhatian kepadanya, termasuk pendidikannya yang maksima telah membuahkan kebaikan dalam diri Habib Abu Bakar yang baru beranjak dewasa. Bagi Habib Abu Bakar menuntut ilmu adalah segala-galanya dan melalui pamannya al-Habib Umar beliau mempelajari ilmu fiqih dan tasawwuf.

    Ketika menempa pendidikan dari sang paman inilah, pada setiap malam beliau dibangunkan untuk shalat tahajjud bersamanya dalam usia yang masih belia. Hal ini sebagai upaya mentradisikan qiyamullail yang telah menjadi kebiasaan orang-orang mulia di sisi Allah atas dasar keteladanan dari baginda Rasulillah saw
. Hingga apa yang dipelajari beliau tidak hanya sebatas teori ilmiah namun telah dipraktekkan dalam amaliah kesehariannya.   

Rupanya dalam kamus beliau tidak ada istilah kenyang dalam menuntut ilmu, selain dari pamannya ini, beliau juga berkeliling di seantero Hadramaut untuk belajar dan mengambil ijazah dari para ulama' dan pembesar yang tersebar di seluruh kota tersebut. Salah seorang dari sederetan para gurunya yang paling utama, adalah seorang arifbillah yang namanya termasyhur di jagad raya ini, guru dari para guru di zamannya al-Imam al-Qutub al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi" رضي الله عنه sebagai Syaikhun-Nadzar. (Guru Pemerhati).


    Perhatian dari mahagurunya ini telah tertumpahkan pada murid kesayangannya jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut, ketika beliau masih berada di tanah Jawa. Hal ini terbukti dengan sebuah kisah yang sangat menarik antara al-Habib Ali dengan salah seorang muridnya yang lain. Pada suatu hari Habib Ali memanggil salah satu murid setianya. Beliau lalu berkata: “Ingatlah ada tiga auliya' yang nama, haliah dan maqam mereka sama”. Wali yang pertama telah berada di alam barzakh, yakni al-Habib Qutbul-Mala' Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus, dan yang kedua engkau pernah melihatnya di masa kecilmu, iaitu al-Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Attas, adapun yang ketiga akan engkau lihat dia di akhir usia kamu. Habib Ali pun tidak menjelaskan lebih lanjut siapakah wali ketiga yang dimaksud olehnya.

    Selang waktu beberapa tahun kemudian, tiba-tiba sang murid tersebut mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Dalam sebuah tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah
صلى الله عليه وسلم, kala itu dalam mimpinya Nabi صلى الله عليه وسلم menuntun seorang anak yang masih kecil sambil berkata kepada orang tersebut: Lihatlah aku bawa cucuku yang shaleh Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf! Mimpi ini terulang sebanyak lima kali dalam lima malam berturut-turut, padahal orang tersebut tidak pernah kenal dengan Habib Abu Bakar sebelumnya, kecuali setelah diperkenalkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم.

    Pada saat ia kemudian bersua dengan Habib Abu Bakar as-Saggaf, iapun menjadi teringat ucapan gurunya tentang tiga auliya' yang nama, haliah dan maqamnya sama. Lalu ia ceritakan mimpi tersebut dan apa yang pernah dikatakan oleh Habib Ali al-Habsyi kepada beliau. Kiranya tidak meleset apa yang diucapkan Habib Ali beberapa tahun silam bahwa ia akan melihat wali yang ketiga di akhir usianya, karena setelah pertemuannya dengan Habib Abu Bakar ia pun meninggalkan dunia yang fana ini, berpulang ke rahmatullah. Tidak diragukan lagi perhatian yang khusus dari sang guru yang rnulia ini telah tercurahkan kepada murid kesayangannya, hingga suatu saat al-Habib Ali al-Habsyi menikahkan Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf dengan salah seorang wanita pilihan gurunya ini di kota Seiwuun, bahkan Habib Ali sendirilah yang meminang dan menanggung seluruh biaya perkawinannya.

     Selain Habib Ali, masih ada lagi yang menjadi syaikhut-tarbiah (guru pendidiknya) yakni pamannya tercinta al-Habib Abdullah bin Umar as-Saggaf. Adapun yang menjadi Syaikhut-Tasliik (guru pembimbing beliau) al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (gambar sebelah). Sedang yang menjadi syaikhul-fath (guru pembuka) adalah al-Wali al-Mukasyif al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Qutban yang acapkali memberinya khabar gembira dengan mengatakan: “Engkau adalah pewaris haliah kakekmu Umar bin Saggaf".

Beliau adalah seorang wali Allah yang mempunyai berbagai macam karamah yang luar biasa. Beliau berasal dari keturunan Al-Ba’alawi. Sebahagian dari karamahnya pernah diceritakan bahawasanya pernah ada dua orang yang datang ke kota Tarim (Hadhramaut) dengan maksud mengunjungi setiap orang terkemuka dari keluarga Al-Ba’alawi yang berada di kota tersebut. Setibanya di suatu masjid jami’ keduanya dapati Habib Abu Bakar sedang bersolat di masjid tersebut.
Setelah solat Jum’at selesai keduanya menunggu keluarnya Habib Abu Bakar dari masjid. namun beliau tetap duduk beribadat dalam masjid sampai hampir matahari terbenam. kedua orang itu merasa lapar, tapi keduanya tidak berani beranjak dari masjid sebelum bertemu dengan Habib Abu Bakar. Tidak lama kemudian, Habib Abu Bakar Asseggaf menoleh kepada mereka berdua sambil berkata: “Ambillah apa yang ada dalam baju ini”. Keduanya mendapati dalam baju Habib itu sepotong roti panas. Roti tersebut cukup mengenyangkan perut kedua orang tersebut.
Bahkan masih ada sisanya. Kemudian sisa roti itu barulah dimakan oleh Habib Abu Bakar”. ada seorang diceritakan telah meminang seorang gadis. Habib Abu Bakar ketika mendengar berita tersebut telah memberikan komentarnya: “Pemuda itu tidak akan mengawini gadis itu, ia akan kawin dengan ibu gadis tersebut”. Apa yang diceritakan oleh Habib Abu Bakar tersebut ternyata benar, kerana tidak lama kemudian ibu gadis itu diceraikan oleh suaminya.
Kemudian pemuda itu membatalkan niat untuk mengawini gadis tersebut. bahkan sebagai gantinya ia meminang ibu gadis tersebut, diceritakan pula bahwa ada serombongan tamu yang berkunjung di Kota Tarim tempat kediaman Habib Abu Bakar Asseggaf. tamu itu tergerak di hatinya masing-masing ingin makan bubur gandum dan daging. Tepat waktu rombongan tamu itu masuk ke rumah Habib Abu Bakar, beliau segera menjamu bubur gandum yang dimasak dengan daging.
Kemudian sebahagian dari rombongan tersebut ada yang berkata: “Kami ingin minum air hujan”. Habib Abu Bakar berkata kepada pembantunya: “Ambillah bejana itu dan penuhilah dengan air yang ada di mata air keluarga Bahsin”. Pelayan itu segera keluar membawa bejana untuk mengambil air yang dimaksud oleh saudagarnya.
Ternyata air yang diambil ari mata air keluarga Bahsin itu rasanya tawar seperti air hujan.
pernah diceritakan bahawasanya ada seorang Qadhi dari keluarga Baya’qub yang mengumpat Habib Abu Bakar Asseggaf. ketika Habib Abu Bakar mendengar umpatan itu, beliau hanya berkata: “Insya-Allah Qadhi Baya’qub itu akan buta kedua matanya dan rumahnya akan dirampas jika ia telah meninggal dunia”. Apa yang dikatakan oleh Habib Abu Bakar tersebut terlaksana sama seperti yang dikatakan.
Ada seorang penguasa yang merampas harta kekayaan seorang pelayan dari keluarga Bani Syawiah. pelayan itu minta tolong kepada Habib Abu Bakar Asseggaf. pada keesokkan harinya penguasa tersebut tiba-tiba datang kepada pelayan itu dengan mengembalikan semua harta kekayaannya yang dirampas dan dia pun meminta maaf atas segala kesalahannya.
Penguasa itu bercerita: “Aku telah didatangi oleh seorang yang sifatnya demikian, demikian, sambil mengancamku jika aku tidak mengembalikan barangmu yang kurampas ini”. Segala sifat yang disebutkan oleh penguasa tersebut sama seperti yang terdapat pada diri Habib Abu Bakar Assegaf.
diceritakan pula oleh sebagian kawannya bahawasanya pernah ada seorang ketika dalam suatu perjalanan di padang pasir bersama keluarganya tiba-tiba ia merasa haus tidak mendapatkan air. sampai hampir mati rasanya mencari air untuk diminum.
Akhirnya ia teringat pada Habib Abu Bakar Asseggaf dan menyebut namanya minta pertolongan. Waktu orang itu tertidur ia bermimpi melihat seorang penunggang kuda berkata padanya: “Telah kami dengar permintaan tolongmu, apakah kamu mengira kami akan mengabaikan kamu?” Waktu orang itu terbangun dari tidurnya, ia dapati ada seorang Baduwi sedang membawa tempat air berdiri di depannya.
Baduwi itu memberinya minum sampai puas dan menunjukkannya jalan keluar hingga dapat selamat sampai ke tempat tujuan.

Demikianlah beliau menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, mengambil ijazah serta ilbas dengan berpindah dari pangkuan para auliya' dan pembesar yang satu dan yang lainnya di seluruh Hadramaut, Seiwuun, Tarim dan sekitarnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu nama mereka. Setelah semuanya dirasa cukup dan atas izin dari para gurunya, beliaupun mulai meninggalkan kota para. auliya' itu untuk kembali ke tanah Jawa, tepatnya pada tahun 1302 H.

    Dengan ditemani al-Arifbillah al-Habib Alwi bin Saggaf as-Saggaf (dimakamkan di Turbah Kebon - Agung Pasuruan) berangkatlah beliau ke Indonesia. Adapun tujuan pertamanya adalah kota kelahirannya Besuki -Jawa timur, setelah tiga tahun tinggal di sana, beliau lalu berhijrah ke kota Gresik pada tahun 1305H dalam usia 20 tahun. Dan di kota inilah beliau bermukim. Mengingat usianya yang masih sangat muda, maka kegiatan menuntut Ilmu, ijazah dan ilbas masih terus dilakoninya tanpa kenal lelah.

Manaqib Al Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi


Alhamdulillah, Allah memberi kita taufik, hidayah dan inayah, kepada kita semua ini dalam keadaan sehat wal afiat
Shalawat serta salam, mari kita haturkan kepada baginda Muhammad, pembuka pintu rahmat, beserta segenap keluarga, sahabat dan mereka yang memperjuangkan syariat hingga hari kiamat.

91 tahun yang lalu Habib Ali wafat, tetapi sampai saat ini dakwah beliau masih hidup dan semakin berkembang luas. Terbukti, berkat beliau kita semua dapat bertemu di tempat ini dengan satu hati yang mengagungkan Allah.
Sejak pagi hingga detik ini, lisan, telinga, hati dan seluruh anggota tubuh kita sibuk berdzikir memuliakan Allah.
Tak ayal jika saat ini, guyuran rahmat membasahi hati kita, kerumunan malaikat mengelilingi diri kita dan Allah membangga-banggakan kita di hadapan para malaikat-Nya.
Dalam suasana yang penuh berkah ini, tepatlah kiranya jika kami sampaikan sekilas riwayat hidup Habib Ali, sehingga kita dapat lebih mengenal beliau.
Semoga apa yang akan kita dengar bersama ini, diberkati dan bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amin Allahumma Amin
165 tahun yang lalu, tepatnya pada hari Jumat 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota kecil Hadhramaut, Habib Muhammmad bin Husein Al-Habsyi beserta istrinya tercinta Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, dikaruniai seorang putra yang penuh cahaya, ketika mendengar kelahiran beliau, Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, seorang waliyullah terkemuka yang merupakan guru Habib Muhammad bin Husein segera berkata, “Wahai Muhammad, namakan putramu Ali, dia akan mewarisi kewalian Habib Ali bin Alwi Kholi’ Qasam, yang salamnya di dalam Shalat di jawab langsung oleh Nabi.” Ucapan seorang waliyullah terkemuka ini merupakan sebuah tanda dan petunjuk yang menjelaskan bahwa bayi ini kelak akan menjadi seorang wali besar,hari demi hari berlalu, bulan berganti tahun, Habib Ali melewati masa kecilnya di bawah asuhan dua kekasih Allah yang senantiasa berdakwah menyeru manusia ke jalan-Nya.
Ketika Habib Ali berusia 7 tahun, Habib Abdullah bin Husein bin Thohir memerintahkan Habib Muhammad untuk berdakwah ke Mekah. Ayah yang penuh cinta ini, tak tega membawa putranya yang baru berusia 7 tahun untuk mengarungi padang sahara yang ganas. beliau pun meminta istrinya tercinta untuk tetap tinggal di Qasam mengasuh Habib Ali. kemudian bersama putra-putranya yang lain, Habib Muhammad hijrah ke Mekah dan menetap di sana dengan penuh cinta,
Hababah Alawiyah mendidik dan mengasuh Habib Ali. kedekatan dengan ibu merupakan sebuah karunia yang sangat besar bagi Habib Ali. Beliau selalu memanfaatkan karunia tersebut untuk memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Allah. Pada suatu hari beliau berkata, “Dahulu ketika mempelajari sejarah kehidupan para salaf dan kulihat sesuatu yang menakjubkan, maka segera kukatakan kepada ibuku, “Wahai ibu, hadapkanlah dirimu ke kiblat, tengadahkanlah kedua tanganmu dan berdoalah dengan doa berikut, aku akan mengaminkan doa ibu. Sebab, doa seorang ibu untuk anaknya akan segera terkabul. Katakanlah, “Ya Allah, berilah anakku Ali maqam ini… berilah anakku Ali maqam itu...” Aku pun mengamini doa beliau.
Melihat pertumbuhan Habib Ali yang sangat pesat, ayah beliau memerintahkan Habib Ali pindah ke kota Seiwun bersama ibunya untuk memperdalam dan memperluas cakrawala pengetahuan. setelah 6 tahun menuntut ilmu di kota Seiwun, saat berusia 17 tahun, Habib Muhammad memerintahkan Habib Ali untuk belajar langsung kepadanya dan kepada beberapa ulama lainnya di kota Mekah.
Meskipun merasa berat untuk berpisah dengan ibunya tercinta, Habib Ali segera memenuhi panggilan ayahnya. Sang ibu yang belum pernah berpisah dengan putranya yang saleh itu, merasakan getir perpisahan dengan anaknya.
Ketika buah hatinya sibuk menuntut ilmu di kota Mekah, Hababah Alawiyah selalu berdoa agar ia segera dipertemukan kembali dengan putranya tercinta. Maha Suci Allah, doa sang ibu sekali lagi menampakkan hasil. Allah pun menurunkan keberkahan-Nya kepada Habib Ali, hanya dalam dua tahun, Habib Muhammad telah mengizinkan Habib Ali untuk kembali ke kota Seiwun, Kedatangan Habib Ali pun disambut penuh cita oleh Hababah Alawiyah, seorang ibu yang selalu merindukan anaknya.
Mengenai kedekatan dengan ibunya ini Habib Ali ra pernah berkata: Oh andai saja aku dapat bertemu kembali dengan orang tuaku, maka akan kupersembahkan harta dan diriku kepada mereka. ketika ibuku masih hidup, aku tidak pernah merasa memiliki uang walau hanya satu dirham, bahkan aku yakini bahwa harta dan segala sesuatu yang kumiliki adalah milik ibuku. Demi Allah, andaikata ibuku ingin menjualku di pasar, maka aku akan mengaku sebagai budaknya dan akan kupenuhi permintaannya. pada suatu hari Habib Idrus bin Umar dan sejumlah besar wali lainnya mengadakan sebuah majelis di rumah ibuku. Tiba-tiba ibuku dengan kemauannya sendiri berkata, “Wahai hadirin sekalian, aku jadikan kalian sebagai saksi di hadapan Allah, sesungguhnya aku meridhai anakku Ali, saksikanlah bahwa aku ridha kepada anakku Ali, saksikanlah bahwa ia tidak pernah menyalahiku dalam segala hal.” Mendengar ucapan ibuku aku pun bersyukur kepada Allah dan segera berkata kepada mereka, “Saksikanlah keridhaan ibuku kepadaku, sebab kelak di hari kiamat aku akan meminta kalian untuk menjadi saksi.”
Beliau ra berkata, “Amal saleh yang paling penting adalah berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung hubungan silaturahim. ketahuilah, doa kedua orang tua akan segera menembus tujuh lapis langit.
Barang siapa masih memiliki kedua orang tua atau salah satu dari keduanya, maka hendaknya dia berusaha untuk berbakti kepada mereka. Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seseorang daripada berbakti kepada kedua orang tua dan silaturahim.
Dengan berbakti kepada kedua orang tua, seseorang akan mencapai derajat kedekatan dengan Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dicapai dengan amalan lainnya. ketahuilah, berbakti kepada kedua orang tua akan menyelamatkan seseorang dari suul khotimah…. saudaraku, barang siapa berbuat baik kepada kedua orang tuanya, maka dia adalah seorang yang beruntung di dunia dan akhirat. Dan barang siapa memperlakukan kedua orang tuanya dengan buruk, maka dia adalah seorang yang merugi di dunia dan akhirat. Untuk memperoleh keridhaan kedua orang tuanya, seseorang hendaknya rela menjual apa saja, bahkan kalau perlu pakaian yang dia kenakan.”
Hadirin yang dimuliakan Allah, dalam usia yang masih sangat muda, 19 tahun, Habib Ali telah dinyatakan lulus oleh ayahnya yang merupakan seorang mufti di Mekah dan Madinah.
Meski masih muda, Habib Ali telah menyelami samudera ilmu, memperoleh tempat terhormat dan menjadi pusat perhatian masyarakat. dengan bekal yang luar biasa ini, beliau segera berdakwah meneruskan jejak ayah bundanya. masyarakat pun menyambut dengan baik ajakan beliau. mereka menemukan kedamaian dan ketentraman. bahkan semasa hidup beliau, masyarakat kota Seiwun seperti kakak beradik yang hidup rukun dengan penuh cinta. di antara mereka tidak ada permusuhan, iri dengki dan dendam. beliau adalah seorang pemimpin yang disegani, guru yang dicintai dan ayah yang dikasihi. namun, tidak ada seorang pun yang hidup kekal di dunia ini, pada waktu zhuhur, hari minggu 20 Rabiuts Tsani 1333 H, beliau meninggalkan dunia yang fana ini menuju rahmat Allah SWT.
Semoga kita dapat berkah dari beliau Amin yaa Robbal Alamin